Friday, May 19, 2006

Pertanyaan tentang haji


Assalamu 'A'laykum Wr. Wb.
Alhamdulillah, ashsholaatu was salaamu 'Ala Rasulillah, wa ba'du:
Jawaban untuk:
No 1) Sebaiknya mulai sekarang / secepatnya rukun Islam yang ke 2 (shalat) itu dikerjakan secara lengkap 100%. karena shalat 5 waktu ini tidak bisa ditinggalkan oleh semua muslimin / muslimat yang sudah aqil baliq yang sudah kena taklif syariah Islam (beban menjalankan kewajiban perintah Allah SWT) yang mana rukun Islam yng namanya shalat ini berlaku bagi semua ummat Islam dalam keadaan apapun saja, baik kaya atau miskin, sedang sehat atau sedang sakit, atau bahkan dalam perjalanpun / musafir tetap tak boleh ditinggalkan bisa dengan jama' atau qoshar, tak bisa berdiri yah shalat dengan duduk, tak bisa dengan duduk dengan berbaring tak bisa berbaring ya disholati oleh orang lain. Bahkan kata Imam Al Jauzi saya tidak menjumpai dosa yang paling besar dari pada meninggalkan shalat 5 waktu (tarkus shalat). Perlu di ketahui bahwa kata Rasulullah SAW nanti pada hari kiamat yang ditanyakan pertama kali shalatnya, kalau shalatnya beres insyaa Allah yang akan beres / akan mudah.

Perlu diketahui, bahwa dalam rangkain waktu menunaikan haji, juga tak lepas dengan shalat yng 5 waktu, baik ketika di Arafah, Mina atau pun di Masjidil Haram, Misalanya waktu di Araf shalatnya di jamak. Dan salah satu tanda2 hajinya mabrur adalah ibadah shalatnya baik ketika ada ditanah suci waktu menuaikan haji shalatnya dikerjakan dengan baik dan berjamaah dengan baik dengan disertai shalat2 sunnah rawatib dan shalat2 sunnah lainnya, dan tambah terasa ketika kembali ketanah air masing2 bahwa salah satu ciri2 hajinya mabrur semua aktivitas ibadahnya tambah meningkat, yang sebelum haji shalatnya tak 100% malah jadi 100% bahkan yang sebelumnya belum / jarang shalat berjamaah menjadi shalat berjamaah seperti ketika di tanah suci, yang biasanya tidak shalat sunnah sepulangnya dari haji jadi biasa shalat2 sunnah baik rawatib (yang ngikuti shalat 5 waktu) maupun shalat sunnah lainnya, pendek kata segala aktivitas ibadahnya tambah baik, baik semua ibadah mahdah seprti dlam rukun Islam lainnya maupun khairu mahdhoh yaitu ibadah2 muamalah lainnya vertikal dan horizontal.

Jadi lakukan saja, mulai sekarang, dan selalu berdoa' kepada Allah semoga tambah iman dan taqwa kepada-Nya dan merasa ringan menjalankan perintah-Nya semampunya dan menjauhi larangan-Nya semaksimal mungkin . Semoga menjadikan haji yang mabrur.

No 2). Apalagi ONH nya merupakan bonos dari kantor, ambil saja berangkat naik haji itu kan rezki dari Allah Ta'ala semoga mabrur karena dengan ongkosnya dari uang halal, karena hajinya yg tak babrur ongkosnya dari uang haram (misalnya dari uang korupsi dsb). Apalagi seandainya meninggal berdasarkan perhitungannya dibawah no 2 itu bisa dilunasi semuanya tanpa memberatkan ahli warisnya dan itu perlu di wasiatkan ke ahli warisnya . Memang masalah hutang itu wajib dilunasi bahkan Pada Jaman Rasulullah SAW seorang sahabat Nabi Muhammad SAW meninggal dunia , Rasulullah SAW tak mau menshalati sebelum hutangnya dilunasi, ketika ada seorang sahabat menanggungnya maka Rasulullah SAW bersama sahabatnya menshalati jenazahnya. Bahkan menurut KH DR Ahzami ketika menkaji kajian tematik alam akhirat selasa terakhir tg 7 Feb /06 bahwa para Syuhada' itu di alam barzahnya langsung meni'mati alam angin surga kecuali kalau masih punya hutang masih terkatung-katung karena hutangnya.

Masalah pertanyaan tambahan, tentang wajib minta ijin dari suami, sebaiknya minta ijin ke suami, dan suami atau kedua orang tua tidak boleh menghalangi / melarang si isteri menunaikan haji selama si isteri bersama mahramnya lihat penjelasan dibawah tentang ini yang cukup panjang, yang saya ambilkan dari berbagai sumber:

عن ابن عباس: «أَنَّه سَمِعَ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: لاَ يَخْلُونَّ رَجَلٌ بِامْرَأةِ إلاَّ وَمَعَها ذو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأةُ إِلاَّ مع ذِي مَحْرَمِ»، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وإِنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وكذا، قَالَ: «فَانْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ»

(5113) ــ حدّثنا عليُّ بن عبد الله حدَّثَنا سفيانُ حدَّثنا عمرٌو عن أبي مَعبَدٍ عنِ ابن عباسٍ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: «لا يخلوَنَّ رجلٌ بامرأةٍ إلاّ مع ذي مَحْرَم. فقام رجلٌ فقال: يا رسولَ الله، امرأتي خَرجَت حاجَّة واكتَتَبتُ في غزوةِ كذا وكذا. قال: ارجع فحُجَّ مع امرأتِك». صحيح البخاري

Hadits riwayat Ibnu Abbas ra. ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi saw. berpidato: Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali ia bersama muhrimnya. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji. Sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah)


وعن ابن عمر قال: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُسَافِر الْمَرْأَةِ ثَلاَثَةً إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوِ مَحْرَمٍ» متفق عليهما.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang perempuan bepergian selama 3 hari / malam kecuali dengannya bersama mahram nya .(Muttaqun Alih / Bukhari. Muslim, Ahmad))

(1070) ــ حدّثنا إسحاقُ بنُ إبراهيمَ الحنظليُّ قال: قلتُ لأبي أُسامةَ : حدَّثَكم عُبيدُ اللهِ عن نافعٍ عنِ ابن عمرَ رضيَ الله عنهما أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال: «لا تُسافِرِ المرأةُ ثلاثةَ أيّامٍ إلاّ معَ ذي مَحْرَم». صحيح البخاري


وعن ابن عمر قال: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُسَافِر الْمَرْأَةِ ثَلاَثَةً إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوِ مَحْرَمٍ» متفق عليهما.

وعن أبي سعيد «أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَىَ أَنَّ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَم» متفق عليه.
Dari Abi Said, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang perempuan bepergian selama 2 hari atau 2 malam kecuali dengannya bersama mahram nya .(Muttaqun Alih / Bukhari. Muslim, Ahmad))


وفي لفظ قال: «لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِر أَنْ تُسَافِرَ سَفَراً يكُونُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِداً إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا» رواه الجماعة إلا البخاري والنسائي.

Dalam satu lafal (dikatakan), Rasulullah SAW bersabda: “ Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan ahari akhir tidak halal bepergian selama tiga hari lebih, melainkan bersama, ayahnya, suaminya, anak laki-lakinya, saudaranya atau mahramnya yang lain (HR, Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai’)


وعن أبي هريرة «عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحرَم عَليْهَا» متفق عليه.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda: “Tidak halal perempuan bepergian sejauh perjalanan sehari-semalam, melainkan bersama mahramnya.(Muttaqun Alih / Bukhari. Muslim, Ahmad))

في رواية مسيرة يوم وفي رواية مسيرة ليلة. وفي رواية: «لاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَيْامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» رواهن أحمد ومسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan): sejauh perjalan sehari, dalam satu riwayat perjalanan semalam, dan dalam satu riwayat Janganlah seorang perempuan bepergian tiga hari kecuali bersama mahramnya (HR, Muslim, Ahmad).

Imam Syaukani di kitabnya Nailul Authar dalam mengomentari hadis-hadis diatas menjelaskan: bahwa “Janganlah seorang laki-laki bersendirian dengan perempuan… dst itu menunjukkan dilarangnya berkhulwat (bersendirian dengan perempuan lain), ini merupakan Ijma’ ulama.

Perkataan “janganlah seorang perempuan bepergian melainkan dengan mahramnya” itu, pensyarah / komentator berkata : disini kata “bepergian” / musafir itu disebut dengan muthlaq yang diikat (taqyid) dengan hadis-hadis berikutnya. Al Hafid Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari: Kebanyakan para ulama mengamalkan yang muthlaq itu, karena adanya perbedaan ukuran (dalam taqyid).Imam Nawawi (beliau ulama besar fiqih dan ulama besar hadis) berkata: Yang dimaksud dalam pembatasan tersebut bukan dhahirnya, tetapi apapun yang dinamakan “bepergian” adalah terlarang, kecuali bersama mahram.

Selanjutnya Syarih / Imam Syaukani berkata: Oleh karena mahram adalah syarat (bagi perempuan yang hendak) pergi haji, maka ulama-ulama ahlul bait, Abu Hanifah, Nakha’I, Ishak dan Imam Syafii dalam salah satau qaulnya / pedapatnya berbeda pendapat antara mereka tentang pengertian syarat tersebut, apakah syarat ada’ (menunaikannya) ataukah syarat wajib.
Syarat ada’ : syarat bagi sahnya suatu amalan; Syarat wajib: sama dengan wajib, yakni bila dilanggar perbuatannya itu tetap sah.

Ibnu Haraj berkata dalam kitab Fathul Baari (syarah Bukhari): pembatasan mahram menurut para ulama yaitu orang yang haram dikawininya untuk selamanya dengan sebab yang mubah. (Suatu sebab yang membolehkan perkawinan seandainya antara laki-alaki dan perempuan itu tidak ada hubungan mahram).

Dan Sayarih berkata: Hadis-hadis dalam bab ini menunjukkan tidak wajibnya pergi hajji bagi perempuan yang tanpa mahram.

“ Tidak ada ketaatan dalam dhurhaka kepada Allah” (HR. Ahmad, Hakim).

Dengan Begitu, maka ayah bunda tidak bisa melarang anaknya untuk pergi haji yang wajib (yaitu hajji yang pertama) demi kepuasan pribadi mereka sendiri. Baik mereka berdua itu mengidzinkan ataupun tidak, si anak wajib pergi. (Imam Suakani di Naulul Authar).

Dan begitu juga seorang sauami tidak boleh melarang isterinya untuk menunaikan hajji yang wajib ini bersama mahramnya. Dan dia harus tetap menunaikan kewajiban itu sekalipun tidak mendapat idzin dari suaminya. Bahkan kebanyakan ulama mewajibkan suami untuk tetap memberikan nafkah isterinya selama hajji itu. Dan hajji itu wajib ditunaikan, menurut kebanyakan ulama. Demikianlah keterangan dari kitab Naulul Authar oleh Al Allamah Imam Syaukani.

Allahu A'lam,

الفقير الى الله و رحمته
Achmad Muzammil
==============================
Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Pak Muzamil,
Salah satu kerabat saya (wanita, menikah dan punya 1 anak perempuan umur 14 thn) mendapat bonus dari kantornya dan berniat menggunakan dana tsb untuk naik haji insya ALLAH Desember yad.
Sampai saat ini kerabat saya tsb masih ragu-ragu karena beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Apakah bila mau naik haji (rukun Islam ke 5) harus lebih dulu menjalankan rukun Islam ke 1 s/d 4 (seperti pre-requisite)? Sebagai seorang muslimat tentunya rukun 1 tidak perlu dipertanyakan lagi, rukun 3 & 4 pun alhamdulillah sudah dijalankan. Hanya saja memang untuk rukun Islam yang ke 2 masih belum 100%, terkadang hanya pada waktu subuh dan isya.

2. Bila masih ada outstanding cicilan (mis. rumah, mobil dsb), apakah boleh menunaikan ibadah haji dengan dana tsb di atas (bonus)? Kerabat saya tsb bekerja dan membayar cicilan rumah dan mobil dengan gaji bulanannya. Bila ternyata meninggal pada saat menunaikan ibadah haji, insya ALLAH, akan mendapat pesangon dari kantor yang besarnya cukup untuk melunasi outstanding cicilan rumah dan mobil. Lagipula, dalam keadaan terpaksa, rumah dan mobil tsb bisa dijual sehingga, insya ALLAH, tidak akan meninggalkan beban hutang kepada ahli waris.

Apakah hal-hal tsb di atas berpengaruh terhadap mabrur/tidaknya haji seseorang?

Atas jawaban Pak Muzamil, saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalam,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home