Friday, May 19, 2006

Metode Bahasa Nabi Khidir - Pak Ustad Menjawab

Assalamu ‘ Alaikum Wr.Wb.

Akhie Ahmad,

Para ulama2 besar bisa hafal Qur’an ketika masih umur 7 tahun dan lebih dari seratus ribu hadis , bukankah itu merupakan ilmu2 yang diberikan Allah SWT kepada hamba2nya yg sholeh itu bagian dari ilmu Ladunni???

Tentang ilmu Ladunni ini bisa di lihat didalam surat Al Kahfi (ayat65-76) tentang kisah kisah dialog antara Nabi Musa as dan Nabi Hidir as. Ilmu ladunni itu oleh Allah Ta’ala bisa diberikan lepada siapa saja yang Allah SWT kehendaki kepada para hamba2 Nya dengan berbagai cara, salah satunya dengan ilmu Ladunni silahkan baca pada ayat dibawah ini istilah ilmu Ladunni saya casi warna merah pada tulisan Arabnya, serta penjelasan mufassir:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَـٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَـٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya {1} ilmu dari sisi Kami. {2} (QS. Al Kahfi/18:65)
{1}Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang gaib seperti yang akan diterangkan dalam ayat-ayat berikut.

Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusa' menyusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi sampailah keduanya pada batu itu yang pernah mereka jadikan tempat beristirahat. Di sana mereka mendapatkan seorang hamba di antara hamba-hamba Allah ialah Al Khidir yang berselimut dengan kain putih bersih. Menurut Said bin Jubair, kain putih itu menutupi leher sampai dengan kakinya. Dalam ayat ini Allah SWT juga menyebutkan bahwa Al Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan suatu ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Al Khidir. Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seseorang mendapat ilmu itu ada dengan dua cara: 1. Proses pengajaran dari manusia, disebut: At Ta'lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu: a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya). b. Self study dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya sendiri. 2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut At Ta'lim Ar Rabbani. Ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Diberi dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ilmu Al Anbiya (Ilmu Para Nabi) dan ini khusus untuk para nabi. b Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut Ilmu ladunny (ilmu dari sisi Tuhan). Ilmu ladunny ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang sinar itu langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih Nya (para wali).


قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰۤ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS. Al Kahfi/18:66)


Dalam ayat ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata kepadanya: "Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani Israel?" Musa menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata: "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya. Sikap yang demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.

فَانطَلَقَا حَتَّىٰۤ إِذَا لَقِيَا غُلَـٰمًا فَقَتَلَهُۥ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةَۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا * قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا * قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَىْء۠ بَعْدَهَا فَڈ تُصَـٰحِبْنِىۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّى عُذْرًا
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".
Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (QS. Al Kahfi/18:74-76)

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".

Khidir berkata kepada Musa as: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar untuk mempelajari ilmu hakikat bersamaku". Memang sudah terjadi dua kali Musa membantah dan tidak menyetujui perbuatan KHIDIR, padahal Musa telah berjanji tidak akan mengadakan sangkalan apa-apa terhadap apa yang dibuat oleh Nabi Khidir. Peringatan Khidir kepada Musa itu adalah peringatan yang terakhir.

Musa berkata: "Kalau sekiranya aku bertanya lagi kepadamu tentang suatu perbuatanmu yang aneh-aneh itu yang telah aku saksikan karena aku ingin mengetahui hikmahnya bukan untuk sekadar bertanya saja, maka jika aku bertanya lagi sesudah kali ini, maka janganlah kamu mengizinkan aku lagi, karena kamu sudah cukup memberikan maaf kepadaku. Inilah kata-kata Musa yang penuh dengan penyesalan yang terpaksa beliau mengakuinya dan menginsafinya. Diriwayatkan dalam suatu hadis yang sahih bahwa Nabi Muhammad saw bersabda tentang keadaan Nabi Musa itu sebagai berikut: Semoga Allah memberi rahmat kepada kita dan kepada Musa. Seandainya beliau sabar, tentu beliau banyak menyaksikan keajaiban tentang ilmu hakikat, akan tetapi karena beliau merasa malu untuk menghadapi celaan lagi maka beliau berkata: "Kalau sekiranya aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberi maaf kepadaku".

Salam,
Achmad Muzammil

0 Comments:

Post a Comment

<< Home